Pondok pesantren Tahfidzul Qur'an Roudhotul Huffadz Jeneponto Sulawesi Selatan

 Sejak berdiri hingga sekarang, Pesantren Tahfidz Roudhatul Huffadz belum memiliki bangunan pondok sendiri. Padahal sudah terhitung sekitar 100 santri yang belajar di pesantren.


Mereka sering dikenal sebagai Hafidz Pohon Asam. Setidaknya ada 100 santri yang akan mengantarkan orang tuanya ke surga dari titik Pohon Asam ini. 


Terpaksa mereka di sini karena mereka tidak memiliki bangunan pondok tahfidz yang layak dan mampu menampung mereka. 


Sejak berdiri pada tahun 2013, Pesantren Tahfidz Roudhatul Huffadz yang berada di Jeneponto, Sulawesi Selatan ini memang tidak memiliki bangunan pondok yang layak. Padahal sudah ada 100 lebih santri yang mengabdikan diri sebagai kunci surga orang tuanya. 


Ini beberapa kisah mereka. 


**


Anugrah (13) 


Sejak kakakku meninggal pada tahun 2007 lalu, aku selalu bertanya apakah kakak akan masuk surga? Apakah aku bisa membantu kakak masuk surga? 


Sampai akhirnya aku tahu kalau satu-satunya cara adalah aku harus terus mengirimkan doa dengan cara menghafal AlQuran. Tak hanya kakakku saja, aku bisa bawa orang tuaku juga ke surga nanti. 


Alhamdulillah... Sudah setahun aku bisa menghafal 10 juz. Meskipun aku harus berdesak-desakan dengan temanku di pondok pesantren yang masih menumpang di tempat orang. 


Kalau butuh ketenangan, seperti biasa Pohon Asam di ujung jalan jadi tempat yang paling tepat untuk menghafal.


Dan setelah ini, cita-citaku ingin belajar Alquran ke Mesir. Doakan aku ya Om, Tante. 



**


Qadar (15) 


Aku sempat mentok menghafal di Juz 5. Susah banget dihafal karena banyak persamaan kata. Untuk satu halaman saja, aku harus habiskan waktu berjam-jam dan butuh ketenangan agar konsentrasi dalam menghafal. 


Pohon Asam memang jadi tempat terbaik. Tapi kalau cuaca sedang sangat panas, lebih baik di pondok sementara di sini saja. Meski harus berdesakan dengan teman-teman, tapi masih jadi pilihan terbaik. 


Alhamdulillah… aku sudah hafal 20 juz, loh! 


Akhirnya aku tahu mau kemana jalan hidupku kini. Dari pada aku kembali ke jalanan, balap liar seperti dulu, aku akan mengabdikan diriku untuk mengantarkan orang tuaku ke surga. 


Kalau pondok pesantren ini sudah punya bangunan tetap. Aku akan abdikan diriku juga untuk pondok ini dan mengajak seluruh adik-adikku untuk jadi kunci surga bagi orang tuanya. 



**


Irwansyah (21) 


Ayah-Ibuku sebenarnya ingin aku menjadi polisi. Apapun caranya, pokoknya harus jadi polisi meskipun aku hanya lulusan SMA. 


Tapi keinginanku tak hanya ingin sebatas mencapai kesuksesan dunia. Aku memilih untuk meraih surga. Dengan cara “mondok” dan menjadi hafidz di pesantren ini. 


Sudah pasti mereka kecewa. Maklum, kedua orang tuaku belum terlalu paham tentang agama. Kondisi itu yang membuatku bertekad untuk menjadi hafidz. 


Meski orang tuaku tidak mengerti agama, tapi aku punya kesempatan untuk menggandeng tangan mereka menuju surga. Aamiin. 


Dibanding adik-adik yang lain, aku termasuk yang lambat menghafal Alquran. Tapi Alhamdulillah… Setelah dua tahun, aku sudah bisa menghafal 15 juz. 



**


Wahyu (15) 


Saat Ibu meninggal, hidup aku seperti hilang arah. Ibu adalah satu-satunya orang yang mengerti aku. Apalagi saat itu aku takut karena aku harus mengurus adik aku. 


Ayah sedang bekerja di Kendari menjadi buruh tani. Jadi kami tinggal sendiri di Jeneponto. Sampai pada akhirnya terpaksa kami tinggal di rumah nenek. 


Tapi tetap saja aku seperti masih kehilangan arah. Masih bingung harus berbuat apa. Kehilangan ibu seolah membuat aku kehilangan jati diri aku. 


Sampai akhirnya aku izin pada adik dan nenek untuk meninggalkan mereka. Aku ingin melarikan diri ke pondok tahfidz ini. Aku ingin belajar dan menjadi penghafal Alquran. 


Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan kecuali mengupayakan agar Ayah dan Ibu aku masuk surga kelak. 


Memang pondok tidak memiliki tempat yang nyaman. Kami tidur saja sudah seperti ikan berjejer berdesakan. Tapi mungkin ini cara aku berjuang. Aku bersyukur dari pada aku melarikan diri pada hal-hal yang jelas-jelas malah membuat aku semakin kehilangan jati diri. 



**


Anwar (20) 


Kalau dulu kakak aku tidak membawa aku ke pondok tahfidz, mungkin selamanya aku akan jadi anak nakal. Anak berandal yang kehilangan arah, yang merindukan sosok Ayah. Yang bahkan tidak pernah aku lihat wajahnya. 


Sudah tiga tahun aku di sini. Makan di nampan bersama-sama, tidur berdesak-desakan, mengaji dan menghafal Alquran di bawah pohon asam. 


Awalnya memang berat. Tapi setelah dijalani ternyata tidak seberat itu. Aku merasa beban dalam hati aku sedikit demi sedikit terasa ringan. Tak lagi ada pemberontakan dalam diri aku. 


Meski aku tidak pernah melihat wajah Ayah, tapi akan aku persembahkan ayat-ayat hafalan ini untuknya. Biar Ayah bisa masuk surga. 


Kalau kami juga sudah punya asrama sendiri, pasti akan lebih enak. Jam sholat bisa tepat waktu, setoran hafalan pun tidak harus bolak-balik mushola perumahan tempat kami menumpang. 


Wah… kalau kami punya aula, terbayang gema hafalan ayat-ayat suci menggelora di seisi ruangan. Aku akan membimbing adik-adik aku nanti dengan leluasa. Tidak perlu penuh sesak seperti sekarang. 



**


Tahukah sahabat, kalau dari 100 lebih santri itu, hanya sekitar 10 santri yang dibebankan biaya bulanan untuk menutupi makan sehari-hari hingga upah guru. 


Pengurus pondok tidak ingin memberatkan anak-anak yang memang datang untuk menjadi hafidz. Terutama mereka yang yatim. Apalagi mereka tidak pernah ada yang mengeluh dan tetap rajin menghafal. Meski tahu fasilitas yang diberikan sangat kurang

Komentar